Peristiwa Penembakan Misterius, 1982-1985.    Ketika intelijen bergerak.


Peristiwa ini akan selalu membekas, terutama ketika melalui tahun tahun tersebut,

Kenangan kecil saya mengingatkan ketika masa tersebut, masa yg cukup membekas, anak anak sebaya saya bercerita dgn gayanya anak bercerita tentang tetangganya yg menjadi korban atau penemuan karung yg berisi mayat, yg dibuang  ditempat ramai, Messagenya jelas dari sang penguasa, kami juga bisa bertindak.
Lingkungan saya kebetulan ada di wilayah sangar semarang , the bronx kawasan texas,

Broklyn kalau di US :).

 


Perbalan, barutikung, plombokan wilayah yg cukup terkenal dlm tanda kutip. Belum lagi ketika saya ada dinenek saya krobokan, banjir kanal.
Tato dgn aneka gaya sdh jamak, sebutan gali, utk memberi makna keras .
Entah mengapa mungkin bila   tetangga lingkungan utk tdk saling mengganggu 🙂 , kebetulan keseharian saya aman aman saja.
Yg saya ingat jelas headline tags dari suara merdeka koran lokal yg ada, sangat gencar. Mayat yg rutin ditemukan tiap hari.
Lokasi penemuan mayat dan rumah2 yg diambil oleh aparat pun ada disekitaran sy tinggal.

 

Peristiwa tersebut,

 

 

Saya coba rangkum dr berbagai sumber, sekaligus mengobati dahaga keingintahuan masa kecil.


Operasi rahasia gangguan kamtib,

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1983-untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.

Bila bermanfaat, anda bisa bantu kami tetap ada dgn click iklan yg ditampilkan, Terimakasih Telah membantu.

Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah.
Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah “petrus” (penembak misterius).

Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta.
Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya,
Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI, Soehar­to meminta polisi dan ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas.

 

Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982.
Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­opkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983.

 
Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma­sing-masing kota dan provinsi lainnya.

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan.
Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak.
Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak.
Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya te­ri­kat.
Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun.
Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan.

 
Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).

 
Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang mempunyai  rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983).
Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

 

Kontroversi
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe­megang kekuasaan.
Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.

Mereka yang melawan langsung ditembak di tempat. Aksi petrus kemudian menjalar ke Jawa Tengah, bahkan hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak pada pagi hari—sebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga 1985.
Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab,
Bathi Moelyono , seorang yg disegani  pd waktu itu, tahu ia masuk sasaran tembak.
Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam di langit-langit rumah tetangga.

 
Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang, Bathi ke Jakarta, menghadap orang yang ia sebut sebagai “Number One”, yakni Ali Moertopo.
Tokoh “Operasi Khusus” ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo “patron” para preman yang ia pimpin. Ali Moertopo memberinya selembar “surat jaminan” tak akan didor.
Tapi tetap saja Bathi tak merasa aman. “Mungkin penguasa saat itu menganggap tugas saya sudah selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi, “Bathi mengenang.
Dalam keadaannya yang limbung-bingung, istrinya, Siti Nurhayati, hamil tua. Setelah Siti melahirkan Lita, Bathi menghilang. Selama sepuluh tahun ia berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di wilayah Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia setidaknya tujuh kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama pasaran lain.
Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya administrasi. Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa, Semarang. Pada 1968, ia terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif perampokan. Bathi diganjar hukuman penjara hingga 1970.

 
Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu, Orde Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat. Intinya: setia hanya kepada Golkar.

 
Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat jelata agar mencoblos Golkar. “Istilahnya kami bina,” katanya. “Kalau tidak mau kami bina… ya kami binasakan.”

 
Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang yang ia sebut “bos besar” untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan, semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakarta—pada Pemilu 1977 kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.

 
Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi menghancurkan citra PPP di Jakarta. Pada Pemilu 1982, Bathi mengkoordinasi pengawalan dan pengamanan Badan Pemenangan Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia dan anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia memenuhi kampanye Golkar di lapangan Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982, Bathi dan anak buahnya menyamar sebagai pendukung PPP.

 
Mereka menyerang pendukung Golkar dan merobohkan panggung sambi berteriak, “Hidup Ka’bah!” Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka berangkat naik bus berkaus PPP, tapi terbungkus rapat jaket Golkar. Sesampai di lapangan, mereka melepas jaket sehingga tinggal kaus PPP yang tampak. “Sudah kami siapkan mana mobil yang dibakar, mana yang tidak,” kata Bathi. Alhasil, pada Pemilu 1982, suara PPP di Jakarta tumbang oleh Golkar.

 

Kisah lain disampaikan,  Jalan Jenderal Sudirman Semarang seputar kawasan perumahan Cakrawala Semarang, tak jauh dari pompa bensin (kini sudah gulung tikar, red), ramai orang berkerumun. Mereka mengelilingi sebuah karung goni tergeletak di antara lalat-lalat hijau. Bagian atas karung tidak terikat, dan menyembul wajah pucat menyeringai. Sesosok mayat pria muda telanjang dada dan penuh tato terlihat. Orang-orang bergunjing. Ini adalah mayat kali kesekian yang ditemukan tergeletak di tepi jalan.

 
Beberapa hari kemudian, di kawasan Jalan Hasanudin juga didapati mayat dengan kondisi serupa. Tetapi tidak terbungkus. Tergeletak begitu saja, di bawah tiang listrik. Wajahnya juga menyeringai seperti menahan takut dan sakit yang amat sangat. Mereka menamakan pria-pria malang itu sebagai korban petrus (penembak misterius).
Hampir tiap pagi orang menjumpai mayat seperti itu. Hampir seluruh korban adalah pria bertato, dan belakangan diketahui mereka adalah yang dikenal sebagai bromocorah, gali, preman, dan segolongan mereka. Para korban sebagian besar tewas karena ditembak, tetapi sebagian yang lain mati tercekik, atau terjerat lehernya. Bahkan cerita dari mulut ke mulut lebih sadis dari itu. Para korban ada yang disergap di tengah jalan. Tapi tak jarang mereka dieksekusi di depan anak-istri mereka. Jika ditangkap di depan khalayak, mereka dibawa ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian ia disuruh berlari, dan … dorr!

 
Banyak mayat para korban seakan-akan sengaja diletakkan di tempat ramai, seolah menjadi ”pesan” kepada para preman dan penjahat untuk tidak macam-macam lagi.
Tak ayal kondisi ini membuat kelompok hitam, atau bahkan siapa saja yang di tubuhnya terdapat tato amat cemas, menunggu ”Kapan giliran saya?”. Beberapa di antara mereka berusaha menghilang sejauh mungkin, atau melenyapkan tato di tubuhnya.
”Pada suatu tengah malam, ketika kami sedang ngobrol, datang sebuah mobil. Lalu dari dalam mobil itu berhamburan 4-5 orang. Kami kalang kabut menyelamatkan diri berlarian ke sawah. Besoknya saya dapat kabar Mas Ripto ditemukan tewas. Di lehernya seperti ada bekas jeratan.” Begitulah tutur seorang warga Tawangsari.
Ripto pada masanya dikenal sebagai pimpinan sebuah geng. Dia amat disegani, bahkan ditakuti bersama (waktu itu) kelompok Kisromi dari kawasan Krobokan. Reputasi di dunia hitam menempatkannya pada target Petrus.
Kabar tewasnya Ripto membuat rekan-rekannya terpencarpencar menyelamatkan diri. Begitu juga dengan mereka yang merasa memiliki catatan di dunia hitam.
Berapa sebenarnya angka korban petrus? Sulit mencari data resmi karena ini operasi tertutup.

 

 

Benny moerdani, nama yg melekat dlm pembumihangusan preman di seluruh pelosok Tanah Air lewat  Penembakan Misterius.
“Itu untuk shock therapy supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata Soeharto membelanya dalam otobiografi Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang ditulis sastrawan Ramadhan K.H.

Benny adalah org org terdekat Soeharto , selain ali murtopo, sudomo tokoh godfather intelligence negeri ini saat itu.
Posisinya lepas, menjelang sidang umur MPR, kans besar menjadi wapres menguap langsung.

 
Seperti halnya yang disampaikan Yoga, Benny pun akhirnya mafhum bahwa kiprah anak-anak sang presiden dalam berbisnis menumbuhkan iklim tak sehat. Hingga pada suatu hari, Benny memberanikan diri untuk menyampaikannya langsung kepada Soeharto di sela-sela bermain biliar di Cendana. Sang presiden pun murka.
“Wah bapake ketoke nesu banget. Saya pasti selesai, hanya akan sampai di sini…,” keluh Benny kepada Laksamana Sudomo. Feeling sang intel sepenuhnya benar. Beberapa saat menjelang Sidang Umum MPR, Benny dicopot dari jabatannya sebagai Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib. Berkat lobi mantan Pangkopkamtib Sudomo, yang juga dikenal dekat dengan Soeharto, sang intel tak sepenuhnya dibuang. Dalam kabinet 1988-1993, Benny ditempatkan sebagai Menteri Pertahanan.
“Saya tahunya kembali dijadikan menteri ya baru sesudah mendengar pengumuman di radio. Sebab, saya sudah tidak pernah dihubungi Pak Harto, juga tidak lewat telepon sejak saya tak lagi menjadi Panglima ABRI,” tutur Benny dalam buku Tragedi Seorang Loyalis karya Julius Pour.

 
Wakil Ketua Komnas HAM Yosep Adi Prasetyo di Komnas HAM, Jakarta, Selasa (24\7/2012).
“Korban Petrus telah dipilih secara khusus, bahkan sudah ada masuk daftar Target Operasi. Mereka kerap dinyatakan sebagai penjahat, preman, gali, dan mantan residivis, dan semuanya memiliki tato,” jelasnya.
Bahkan tak jarang korban petrus ini merupakan korban salah sasaran lantaran nama yang sama dengan daftar target operasi yang dimiliki sang eksekutor. Banyak juga korban Petrus ini adalah salah sasaran karena nama yang sama,” terangnya.
“Peristiwa itu terjadi di hampir wilayah Jawa dan Sumatera,” terangnya.
Dari cerita Yosep, berdasarkan informasi yang digali tim dari pelaku, korban, keluarga korban, dokter, dan perawat, eksekusi petrus terbilang ngeri. Ada yang ditembak kepalanya di rumahnya sendiri, dan ada yang dicekik bahkan dibuang ke dalam jurang penuh karang.
Bahkan, ada yang di eksekusi dengan cara yang beda. Mulai dari menggunakan peluru emas, hingga memasukkan ke dalam tong besi dan di buang ke laut.
“Kalau orang yang kebal, yang punya ilmu kanuragan, ditembak pakai peluru emas. Ada yang dimasukkan ke dalam tong besi dan ada yang diikatkan dengan batu dan dibuang ke laut. Bahkan, ada yang dadanya dipahat sampai terbuka,” jelasnya.

 

 

Komnas HAM :

FAKTA PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS PERIODE 1982 – 1985
1. Penembakan Misterius di Yogyakarta Periode 1982–1985
Gambaran Peristiwa  Pada 6 April 1985 Komandan Distrik Militer 0734 Yogyakarta Letkol CZI M. Hasby

mengeluarkan imbauan kepada para pengusaha dan anggota masyarakat lainnya  agar tidak lagi memberikan setoran kepada pemeras dan penjahat melalui tukang-tukang pungutnya.
Selain itu ia mengingatkan para “gali” agar segera menyerahkan diri dalam waktu singkat sebelum kesabaran aparat negara mencapai  batasnya. Bila para gali tidak mau melaporkan diri ke pihak garnizun, maka aparat keamanan yang akan menjemput. Ia menyatakan bahwa pihaknya memiliki nama-nama gali yang telah disusun dalam suatu daftar hitam. Dengan resep tembak langsung, para gali di Yogyakarta berjatuhan satui persatu mati. Sisanya kocar-kacir. Sejumlah tokoh preman ditemukan tewas, rata-rata dengan luka tembak mematikan di kepala dan beberapa di bagian leher mereka. Beberapa di antara mereka adalah tokoh gali yang terkenal di kalangan masyarakat Yogya.
Sasaran pembasmian terhadap para gali bukan hanya menyasar kelompok  lapisan bawah saja.Rumah Sakit Sarjito merupakan rumah sakit di Yogyakarta yang paling banyak menangani jenasah korban penembakan misterius. Di antara puluhan jenasah sebagian besar tak bisa diidentifikasi hingga dikuburkan dalam status sebagai “Mr.  X” atau orang tak dikenal. Sebagian lagi memang dikenali sebagai tokoh-tokoh gali yogyakarta.
Selain pembunuhan dan eksekusi di luar proses pengadilan sejumlah preman di Yogyakarta juga mengalami proses penangkapan secara-semena-mena.
Beberapa diantara mereka pada 1982–1983 sejak Peristiwa Petrus terjadi memilih lari ke Jakarta. Namun kemudian mereka kembali ke Yogyakarta karena Dandim 0734 32 bernama Muhammad Hasby menjamin mereka tidak menjadi korban.
Banyak di antara korban mati maupun selamat yang mengalami penyiksaan. Di  antara korban mati bisa dikenali adanya penyiksaan ini dari tanda-tanda yang  terdapat pada jenasah mereka. Perang terhadap para gali di Yogyakarta juga  menggunakan cara perampasan kemerdekaan. Secara umum, korban biasanya  dibawa oleh lebih dari 1 orang anggota ABRI yang kadang mengunakan seragam loreng tanpa adanya surat penangkapan.

 
Sebagian lagi dijemput oleh orang  bertopeng atau orang yang tak dikenali, baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar. Sebagian dari korban ditemukan masyarakat dalam bentuk sebagai jenasah. Sebagian dari orang-orang yang dijemput pada akhirnya menjadi korban penghilangan orang secara paksa di mana orang yang menjadi target dijemput orang yang tidak dikenal dari rumah korban, dijemput atau dijebak oleh teman korban, diminta memenuhi panggilan polisi untuk datang ke kantor polisi.
Di antara para korban yang hilang adalah para residivis yang dijemput atau dibon” dari penjara atau lembaga pemasyarakatan.

 
Pangdam VII Diponogoro baru Mayjen TNI Soegiarto yang menggantikan Letjen TNI  Ismail, meneruskan kebijakan perang terhadap para gali.
Akibat dari tekanan ini banyak di antara preman yang memilih menyerahkan diri kepada aparat. Dandim 0734 Dan Garnisun Yogyakarta Letkol CZI M. Hasby, dalam pertemuan dengan 300 warga Pembauran Darma Nusantara, menerangkan, jumlah ‘gali’ di Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah melapor diri sampai minggu terakhir 10 Mei 1983 tercatat 441 orang.

 
Di antara yang melaporkan diri terdapat ‘gali’ yang mempunyai pekerjaan tetap (pegawai negeri) dengan penghasilan rata-rata Rp. 50.000/bulan.

 
M. Hasby juga menyatakan tekadnya untuk terus melanjutkan operasi  pemberantasan kejahatan di Yogyakarta. Sukses OPK di Yogyakarta, membuat petinggi ABRI menerapkannya ke daerah daerah lain di Indonesia. Penlaksusda Jawa Tengah dan DIY Letkol. TNI Antono Margi menyatakan, bahwa pihak Laksusda tidak membedakan tindak-tindakan yang  diterapkan terhadap para pelaku kejahatan, entah itu di DIY, Semarang atau daerah 19 rawan lainnya.

 
Hanya tindakan para penjahat di Yogyakarta sudah keterlaluan. Isyarat bahwa kebijakan di DIY akan juga diterapkan ditempat lain di Jawa Tengah muncul dari Panglima Kodam VII Diponogoro Mayjen Ismail. Ia menyatakan, “karena tindakan para gali di Yogya sudah keterlaluan maka dilakukan gebrakan-gebrakan atau shock terapi, sebagai operasi imbangan. Operasi imbangan oleh laksusda juga  sudah diterapkan di Semarang Selatan.”

 
Penembakan Misterius di Jawa Tengah Periode 1982–1985
Gambaran Umum Peristiwa Penembakan Misterius di Jawa Tengah Periode 1982 – 1985
Kepala Staf Kodak IX/Jawa Tengah Brigadir Jendral Pol M. Satoto menerangkan Operasi Cerah Yang dilancarkan polisi Kodak IX/Jawa Tengah dan seluruh jajarannya awal Desember hingga Januari 1982, berhasil mengungkap kasus-kasus kejahatan yang selama ini belum di ketahui polisi setempat. Mulai dari keterlibatan  oknum-oknum ABRI dengan peralatan senjatanya, adanya good father bagi kawanan penjahat dan para penjahat  yang  terorganisir, semacam mafia semua tersingkap. Berkat Operasi Cerah angka kejahatan terutama kejahatan dengan kekerasan,  secara drastis dapat menurun.
Tetapi yang menjadi tantangan aparat Polri di sana  adalah penjahat yang berasal dari luar kota. Dari Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jaya  dan Sumatera Bagian Selatan.
Atas pertanyaan pers, sejauh mana Operasi Cerah dapat menembus “gabungan anak liar” yang lebih dikenal dengan sebutan “ Gali-Gali” Jawa Tengah, dan cukup meresahkan penduduk itu, Kasdak belum dapat memberikan gambarannya. Dapat di maklumi gali-gali di Jawa Tengah ini, cukup ruwet dalam pemberantasnya karena mereka tersebar di seluruh kotanya. Tetapi Kodak Jawa Tengah tidak pesimis dalam memberantas segala kejahatan    yang meresahkan masyarakat di sana. Jika masih ada yang belum berhasil di tembus Operasi Cerah I dan II untuk tahap selanjutnya kini kepolisian Kodak IX sedang mengadakan evaluasi untuk bahan Operasi selanjutnya.

-Kadapol Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo saat sambutan pembukaan Rakor  kadapol VI sampai dengan XI di Ambarawa Jawa Tengah pada 9 September 1982, mengatakan, “Dewasa ini timbul kecenderungan pergeseran sifat kejahatan ke arah yang lebih sadis. Sadisisme tersebut di lakukan penjahat disamping untuk menghilangkan jejak, juga untuk mempengaruhi psikologi dan moral masyarakat.
Kerja sama antar Kodak penting dalam usaha penanggulangan kejahatan karena salah satu Kodak dapat dijadikan tempat pelarian para pelaku atau tempat pelempar hasil-hasil kejahatan serta tempat merencanakan sebuah kegiatan.
Dengan pola  kebersamaan usaha penanggulangan juga dapat mempersempit ruang gerak pelaku  kejahatan antar wilayah hukum.”

 
Kadapol IX/Jawa Tengah Mayjen Pol JFR Montolalu, menjelaskan sejak  dilaksanakannya Operasi “Cerah I” dan “Cerah II” angka kejahatan nampak menurun cukup drastis.
Sebagai contoh, pencurian kendaraan bermotor turun 10% bulan Februari dibandingkan pada Januari.

 
Bahwa untuk menanggulangi kejahatan di  daerah Kodak IX Jawa Tengah, sekarang sudah dilakukan Operasi  “Cerah I, II, III” berhasil meringkus 824 orang tersangka kejahatan, 21 orang mati tertembak dan 17  orang menderita luka2 berat.
Kapolri, Jenderal Pol. Dr. Awalludin, menerangkan Polri sampai bulan September melalui Operasi Sikat, Linggis, Pukat, Rajawali, Cerah dan Parkit di wilayah Indonesia berhasil menangkap pelaku kejahatan sebanyak 1.946 orang. Sedangkan 22 barang bukti yang di sita berupa senjata tajam 1.376 buah senjata tajam, 146 pucuk 23 senjata api genggam, 26 senjata api bahu dan 7 pucuk pistol gas.
Mengenai tingkat kejahatan sampai 1 September 1982, menurut Kapolri tercatat 13.997 kasus di antaranya 136 kali dilakukan dengan cara yang sadis sedangkan pembajakan di atas bus tercatat 28 kali.

Pangdam VII Diponegoro, Mayjen TNI Ismail di dampingi Kepala Penerangan Kodak VII, Letkol, Inf Antono Margi ketika menerima Pengurus PWI  Cabang Yogyakarta yang mengadakan audiensi ke Makodam VII Diponegoro pada 24 Januari 1983, mengatakan kriminalitas akhir-akhir ini sudah tidak lagi semata-mata karena masalah  perut.
Tetapi sudah mengarah ke demonstrasi keberingasan, ugal-ugalan dan  mengandung sistem nilai lain yang mungkin sudah bau-bau politis. Sistim nilai itu di  impor dari negara lain, karena kebudayaan Indonesia tidak mengenal hal  itu.
Komnas ham mengkategorikan sbb:

 

Pembunuhan,
J.J. Manuraip pada 1989 menyatakan bahwa korban penembakan ada 89 orang. Sementara itu fakta pembunuhan yang terjadi dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 ini dapat  dijelaskan sebagai berikut:

Diambil oleh atau diduga oleh tentara atau polisi(terkadang dengan  menggunakan teman untuk menjemput korban) Empat puluh empat orang saksi menyatakan antara lain bahwa korban  dijemput/diambil oleh orang berseragam loreng hijau dan atau orang dengan ciri dan karakter yang patut diduga sebagai tentara atau polisi, sebagian korban  dijemput dari rumahnya dan sebagian yang lain diambil saat berada di jalan.
Orang yang menjemput/mengambil para korban itu ada yang menggunakan  topeng atau cadar untuk menutupi wajah dan identitasnya.
Beberapa diantaranya  menggunakan kendaraan Toyota hardtop berwarna hitam.
Didapatkan pula dari keterangan para saksi, beberapa diantaranya melakukan penjemputan atau pengambilan para korban dengan membawa senjata api.
Diambil atau dieksekusi oleh orang yang tidak dikenal Delapan orang saksi menyatakan bahwa korban diambil oleh orang yang tidak mereka kenal sebelumnya dan kemudian ditemukan dalam keadaan sudah menjadi mayat.
Beberapa saksi yang merupakan keluarga korban menyatakan bahwa mayat korban dimasukan ke dalam karung yang kemudian ditemukan di  pinggir jalan atau tempat-tempat tertentu, sementara saksi yang lain menyatakan bahwa kematian korban dikabarkan oleh petugas kepolisian yang kemudian meminta keluarga korban ke rumah sakit tertentu untuk melakukan identifikasi terhadap jenazah yang ditemukan. Beberapa saksi menemukan korban dalam keadaan telah dikuburkan.

 
Diambil dari tempat umum ,Dua orang saksi menyatakan bahwa korban diambil dari tempat umum dengan  disaksikan oleh banyak orang. Ada yang diambil dari tempat bermain bilyard,  sementara saksi yang lain menyatakan bahwa korban diambil pada saat sedang mengikuti arisan kusir andong yang disertai dengan permainan judi.

 

Tidak diketahui proses pembunuhannya

Proses pembunuhan korban Petrus seringkali tidak diketahui. Sebelas orang  saksi menyatakan bahwa telah melihat mayat korban Petrus dipinggir jalan atau dipinggir sungai, namun tidak mengetahui bagaimana proses terbunuhnya para korban Petrus.
Sebagian mayat yang ditemukan itu dimasukkan di dalam karung  dengan jempol yang diikat seutas tali.

 
Pada umumnya mayat yang ditemukan tersebut terdapat luka tembak atau luka oleh senjata tajam. Seorang saksi  pendeta bahkan menyatakan telah menemukan mayat dalam karung yang diletakkan di depan rumahnya.
Sementara saksi lainnya menyatakan telah menemukan kuburan 10 orang yang dimasukkan di dalam satu lubang di pinggir pantai.

 
Seorang saksi petugas medik forensik menjelaskan bahwa sekitar 1982 sampai dengan 1985 menjadi bagian dari pemeriksa mayat-mayat yang mempunyai luka tembak yang mempunyai lebih dari 1 (satu) pola yaitu ada luka tembak di bagian samping kanan yang tembus samping kiri dan di tengkuk.
2. Perampasan kemerdekaan .
Dari hasil penyelidikan Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 ini ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah penangkapan tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dalam peristiwa  penembakan misterius periode 1982 sampai dengan 1985 dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:

 

Korban diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang  tidak jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil)

Sembilan orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang yang tidak memperkenalkan diri sehingga tidak diketahui identitasnya, bahkan sebagian menutupi identitasnya dengan menggunakan penutup kepala hitam ataupun cadar.
Sebagian korban dijemput dari kediamannya pada tengah malam ataupun dini hari menjelang pagi.
Setelah dijemput dari rumahnya, korban kemudian dibawa dengan menggunakan mobil.

 
Saksi yang sebagian besar merupakan keluarga korban tidak mengetahui  kemana korban-korban tersebut dibawa.
Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas
Duapuluhsatu orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya  oleh petugas kepolisian atau orang yang diduga merupakan anggota kepolisian 23 tanpa mengemukakan alasan yang jelas dan tidak menunjukan surat  penangkapan. Sebagian hanya menyatakan bahwa korban hanya dipinjam sebentar untuk sebuah urusan.
Beberapa orang korban dijemput dengan paksa,  bahkan ada yang dibawa dalam todongan pistol.

 

Sebagian korban dinyatakan telah ditahan selama sepuluh hari dan kemudian dikenakan wajib lapor, namun beberapa hari setelahnya ditemukan telah meninggal dunia.
Korban diambil oleh tentara  Sebelas orang saksi menyatakan bahwa korban dijemput dari rumahnya atau diambil dari suatu tempat oleh tentara atau orang yang diduga merupakan  anggota tentara yang tidak memperkenalkan identitasnya dan tidak menunjukkan  surat penangkapan.
Namun kemudian sebagian besar korban tersebut  ditemukan dalam keadaan meninggal dunia.

 
Korban diambil dari tempat umum  Empat orang saksi menyatakan bahwa korban telah diambil dari tempat umum dengan paksa.

 
Korban di ambil dari tempat ditahan  Salah seorang saksi menyatakan bahwa salah satu korban Petrus diambil dari  Lembaga pemasyarakatan setelah sebelumnya ditahan selama beberapa bulan oleh orang yang tidak dikenal dan menggunakan tutup kepala.

 

 

3. Penyiksaan
Di dalam penjelasan Pasal 9 UU Nomor  26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
penyiksaan diartikan sebagai tindakan yang dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.
Dari keterangan para saksi, dalam peristiwa Penembakan Misterius periode 1982 – 1985 ini juga terdapat tindak penyiksaan sebagai berikut.
1. Mayat korban yang ditemukan terdapat ada bekas jeratan di lehernya seperti dijerat dengan plat besi.
2. Alat kelamin korban dibakar oleh orang yang mengambilnya.
3. Mayat korban yang ditemukan dengan bekas luka jeratan di leher dan kedua  telapak tangan korban gosong.
4. Pada mayat korban terdapat biru di dahi dan pipinya.
5. Salah seorang saksi korban yang selamat memberikan kesaksian bahwa  setelah dijemput dari rumahnya, saksi dipukuli dengan menggunakan rotan  dibagian punggungnya.
6. Saksi korban yang selamat lainnya memberikan kesaksian bahwa pada saat dia berada ditahanan Satgas Intel,  para tahanan ‘dipestakan’ kata lain dari  dipukuli oleh petugas dengan pemeriksaan. Bentuk penyiksaan lainnya adalah dijemur dengan hanya memakai celana dalam di atas semen di lantai

dasar menghadap matahari dari pukul 10 pagi sampai dengan 2 siang, atau  direndam sambil duduk di dalam bak yang berisi air setinggi hidung dan di  atas kepala tahanan dipasang kayu yang diberi paku agar tahanan tidak bisa berdiri.
7. Mayat korban yang ditemukan terdapat luka lebar di bagian belakang kepala  dan luka tembak di bagian depannya.
8. Mayat korban yang ditemukan dalam keadaan telanjang, badan penuh pasir, pipi kiri kanan penuh luka-luka gores seperti tergores aspal, di leher ada  lingkaran menghitam seperti bekas diseterum, kaki kanan dan kiri ada  lubang-lubang kecil seperti ditusuk dengan benda kecil misalnya jari-jari  sepeda, kemaluannya diikat dengan tali.
9. Pada mayat korban yang ditemukan dengan luka tembak di bagian kepala  dari arah belakang sehingga pada bagian muka ada lubang besar, luka tembak di punggung.
10. Terdapat mayat yang ditemukan dalam keadaan mata tertutup dan keluar darah, jari-jari kanan-kiri bengkak dan luka, muka lebam dan biru, perutnya gembung, bagian dada ada terlihat bekas dibelah,  luka tembakan di dada dan perut.
11. Mayat korban ditemukan dalam keadaan telanjang dibungkus dengan tikar, pada kedua pahanya ada 1 luka tembak di keningnya, 2 luka tembak di dadanya. Pipi kanannya dan gambar tato di kaki kanan ada bekas disetrika.
12. Pada mayat korban di bagian kening kepala pecah, di belakang telinga kiri  ada bekas tembakan, ada 2 lubang bekas tembakan, dan di betis kaki kanan ada 1 bekas tembakan.
13. Pada mayat korban yang ditemukan ada bekas luka tembak di langit-langit  mulut tembus ke kepala belakang, di dada, dan di kening, total ada 9 luka  tembakan, dan ada bekas penyiksaan di kakinya.
14. Salah seorang saksi menjelaskan bahwa setelah sebelumnya terjadi kejar-kejaran antara korban dengan polisi, korban diseret dan dipukul di bagian punggung dan pundaknya serta diancam akan ditembak apabila korban  menolak ke kantor polisi
15. Salah satu korban diambil setelah sholat Jumat oleh orang yang mengenakan baju coklat dan menodongkan pistol ke arah korban yang kemudian diinjak  sampai pingsan.
16. Mayat korban ditemukan dengan pakaian sobek di sepanjang bagian tangan  kiri kanan dan celana, di keningnya ada 3 luka tembak, di lehernya seperti diikat dengan kawat dan bekasnya menghitam seperti disetrum.
17. Pada mayat korban ada memar di pipi kanan kiri sampai menghitam, ada 1  bekas luka tembak di belakang kepala dekat leher.

 

 

Gambaran korban
Korban-korban yang menjadi sasaran atau target penembakan misterius ini telah dipilih secara khusus, bahkan sudah ada daftar yang dibuat sebagai daftar Target Operasi (TO)
Para korban seringkali dinyatakan sebagai penjahat, gali, preman, dan biasanya lebih sering adalah mantan residivis. Ciri-ciri yang paling menonjol  adalah korban biasanya mempunyai tato, pada masa itu tato identik dengan  preman dan sejenisnya.
Namun tak jarang korban tidak pernah bersentuhan dengan kehidupan yang melawan hukum, misalnya salah korban karena nama yang sama atau korban adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Klasifikasi korban Berdasarkan kesaksian terdapat beberapa klasifikasi korban adalah:
a. Mereka yang dianggap sebagai pelaku kejahatan (preman, gali, buronan,  bromocorah)
b. Residivis dan/atau mantan narapidana c. Orang yang diadukan sebagai penjahat d. Orang yang menjadi korban karena  ”Salah target”.

Tanggapan dari pelaku sejarah saat itu.
“Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.”

— Suharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan K.H.)

“Ja­ngan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi ma­ti. Jadi syarat sebagai negara hukum su­dah terpenuhi. Setiap usaha yang bertentangan de­ngan hukum akan membawa negara ini pa­da kehancuran.”

— Mantan Wapres Adam Malik (Sinar Harapan, 25 Juli 1983)

“Landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah Operasi Clurit. Sedang landasan pelaksanaannya adalah tingkat keresahan masyarakat.”
— Dandim 0734 Letkol CZI M. Hasbi (Kompas, 15 April 1983)

“Aparat keamanan bertekad menurunkan angka kejahatan, walaupun harus ditempuh dengan berbagai cara yang lunak sampai tindakan keras. Selama tiga bulan operasi penumpasan kejahatan di Semarang dan Solo, polisi berhasil menangkap 1.091 penjahat. Di antaranya 29 orang tewas tertembak dan empat lainnya tewas dikeroyok massa yang menangkap.”
M. Hasbi, bekas Komandan Kodim 0734 Yogyakarta.  Setelah menjabat komandan militer, dia sempat menjadi Bupati Boyolali sampai 1994.

Dia juga sempat menjadi anggota DPRD Jawa Tengah dari Partai Golkar.  Wakil ketua DPRD Jawa tengah.

Dan  Ketua Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan POLRI (Pepabri) Jawa Tengah.

 

 

 

Berikut ini petikan wawancaranya dgn Wartawan Tempo:
Apa latar belakang operasi Petrus pada 1980-an?

Kondisi keamanan masyarakat ketika itu sangat terganggu oleh keberadaan para gali. Anda tahu apa itu gali? Gabungan anak liar. Mereka sangat menganggu dan meresahkan masyarakat sehingga harus diberantas. Operasi  Petrus itu mulai November 1982, saat saya bertugas di Yogyakarta sebagai Dandim.
Apa buktinya preman kala itu mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat?

Indikasinya sangat jelas, setiap malam hari para mahasiswa di Yogyakarta sudah tak berani keluar karena takut pada gali. Operasi petrus adalah shock therapy supaya tidak ada tindak kejahatan lagi.
Bagaimana  awal mulanya Operasi Petrus dijalankan?

 

 

Saat kondisi keamanan terganggu, saya melapor ke Pangdam Diponegoro, Pak Ismail. Dia bilang, “Ya sudah diberantas saja.” Saya lalu bilang, “Siap laksanakan.” Saya segera berkoordinasi dengan polisi.

( Ismail selanjutnya menjadi gubernur Jawa Tengah)
Untuk apa?

Kami membuat daftar nama preman. Sumber datanya berasal dari laporan masyarakat yang kemudian disaring di Badan Koordinasi Intelijen. Badan Koordinasi Intelijen ini berisi intel Kodim, intel polisi serta intel kejaksaan.
Berapa jumlah preman yang masuk dalam daftar Anda?

Saya lupa. Sudah lama kok.
Setelah didaftar lalu bagaimana?

Setelah itu,  semua preman yang masuk daftar diumumkan dan dipanggil. Para preman diminta lapor untuk diberi Kartu Tanda Lapor (KTL). Semua preman yang sudah bisa menunjukan KTL  akan aman.
Yang tidak bisa menunjukkan KTL?

Ya sesuai standar, ada operasi.  Jika premannya malah lari maka diberi tembakan peringatan tiga kali. Jika tetap lari, akan ditembak kakinya. Tapi, kadang-kadang ya, tembakan itu malah  kena kepala atau tubuh, karena medannya naik turun atau dia malah merunduk. Itu semua di luar dugaan.
Berapa preman yang tewas dalam operasi ini?

Saya tidak ingat. Sudah lama sekali.
Apakah menurut Anda, penembakan misterius ini melanggar aturan?

Saya kira tidak melanggar. Buktinya, saat itu tak ada reaksi penolakan masyarakat. Gali-gali itu sudah sangat meresahkan masyarakat.
Apakah sekarang Anda menyesal karena berperan menghilangkan nyawa  banyak orang?

Waktu itu, ada perintah dari atasan.
Apa kira-kira Pangdam Diponegoro juga mendapat perintah dari atasannya?

Saya tidak tahu, tapi saat itu yang jelas ada operasi Petrus di hampir seluruh wilayah Indonesia.

— Kadapol IX/Jateng Mayjen (Pol) Montolalu (Kompas, 23 Juni 1983)

“Yang menyebut ada penembakan misterius hanyalah media massa sendiri.”
— Pangdam V Jaya/Pangkopkamtibda Mayjen TNI Try Sutrisno bersama Deputy Kapolri Letjen Pol Drs Pamudji dan Kadapol Metro Jaya, Mayjen Pol Drs R Soedjoko (Sinar Harapan dan Berita Harian Gala, 24 Juni 1983).

“Setuju mengenai adanya penembak-penembak misterius dalam menumpas pelaku kejahatan. Demi untuk memberikan rasa aman kepada 150 juta rakyat Indonesia, tidak keberatan apabila ratusan orang pelaku kejahatan harus dikorbankan.”

— Ketua MPR/DPR Amir Machmud (Sinar Harapan, 21 Juli 1983).

“Penjahat mati misterius tidak perlu dipersoalkan , mengenai adanya surat Amnesti Internasional, yang katanya mempersoalkan ini itu, termasuk penjahat terbunuh di Indonesia. Ini merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan.”

— Kepala BAKIN Yoga Sugama (Berita Harian Gala, 25 Juli 1983).

“Saya melihat sistem konvensional ini sudah tidak bisa mengatasi masalah kriminal yang terjadi di Indonesia, maka ini harus diambil satu pertimbangan, kriminalitas dibasmi atau tidak. Jadi keputusannya dibasmi demi kepentingan rakyat”
— Wakil Ketua DPA Ali Murtopo (Sinar Harapan, 28 Juli 1983).

“ Sedikitnya ada empat aspek yang harus diperhatikan, yaitu aspek keamanan, sosial, ekonomi dan politik. Memang aspek keamanan lebih menonjol, tapi tidak berarti aspek lainnya dapat ditinggalkan! Untuk itu para petugas keamanan agar tidak hanya terpukau pada aspek yang menonjol itu saja, tapi harus mendalami keseluruhan permasalahannya. ”

— Oka Mahendra S.H. (Kompas, 16 April 1983).

“ Jika usaha pemberantasan kejahatan dilakukan hanya dengan main tembak tanpa melalui proses pengadilan maka hal itu tidak menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan. Padahal kedua masalah tersebut merupakan tuntutan hakiki yang diperjuangkan orang sejak zaman Romawi Kuno. Jika cara-cara seperti itu terus dilakukan maka lebih baik lembaga pengadilan dibubarkan saja. Jika ada pejabat apapun pangkatnya dan kedudukannya, mengatakan tindakan main dor-doran itu benar, saya tetap mengatakan hal itu adalah salah. ”

— Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution SH (Sinar Harapan, 6 Mei 1983).

“ Sekalipun mereka penjahat, namun sebagai manusia berhak mendapat keadilan melalui lembaga peradilan. Dan menembak ditempat, walaupun oleh petugas Negara, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. ”

— Ketua Yayasan LBH Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adnan Buyung Nasution S.H. (Sinar Harapan, 14 Mei 1983).

 

 

Referensi

1. Wikipedia

2. Wawasan digital.com

3. Tempo.co

4. litabm.wordpress.com

5. Detik.com

6. Komnas HAM

7. Kompas

8. Suara Merdeka

9. Kedaulatan Rakyat

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s